Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf f Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 (selanjutnya disebut sebagai UU Pendidikan Tinggi), rumpun ilmu terapan adalah rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia.
Antara lain pertanian, arsitektur dan perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik, kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen, kesehatan, olahraga, jurnalistik, media massa dan komunikasi, hukum, perpustakaan dan permuseuman, militer, administrasi publik, pekerja sosial, dan transportasi.[1]
(Analisis Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi)
Selanjutnya diatur pula di dalam Peraturan Menristekdikti No. 15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada Perguruan Tinggi, yang diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi. Disebutkan di dalam Kepmen tersebut bahwa nama prodi pendidikan hukum yang sebelumnya prodi ilmu hukum menjadi prodi hukum.[2]
Ilustrasi pendidikan hukum / FHUI |
Masih Mentransformasikan Ilmu Hukum atau Tidak?
Ilmu hukum memiliki tiga lapisan yaitu filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum.[3] Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[4]
Sehingga jelas sekali perbedaan di antara ilmu hukum dan hukum itu sendiri. Ilmu hukum itu keilmuannya, sedangkan hukum adalah normanya. Sekilas akan diperoleh persepsi bahwa pendidikan hukum mengalami penyempitan cakupan, hanya mempelajari tentang norma-norma. Kesannya, para pembuat kebijakan ini terjebak ke dalam pemikiran pragmatis yang mengesampingkan orisinalitas keilmuan hukum.
Lantas bagaimana dengan segi keilmuannya. Seorang sarjana hukum tentunya diharapkan akan menjadi seorang pemikir ilmu hukum sekaligus pemikir/penerap hukum. Pendidikan hukum seyogyanya tidak diproyeksikan menjadi “tukang” tetapi menjadi “bos-nya tukang.”
Ilmu hukum termasuk ke dalam ilmu praktis normologis, berusaha menemukan hubungan dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi, yakni mempertautkan tanggung jawab atau kewajiban subyek tertentu sehubungan dengan perbuatan tertentu yang pada akhirnya dia mau bertanggung jawab atau tidak.
Dalam praktiknya, meski diklasifikasikan ke dalam rumpun ilmu terapan, pendidikan hukum tetap melaksanakan pengajaran keilmuan yang mengikutsertakan ketiga lapisan ilmu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa penamaan ilmu hukum menjadi hukum tidaklah mengubah secara radikal mengenai pendidikan dan pengajaran ilmu hukum.
Transformasi ilmu hukum beserta lapisannya, termasuk teori dan praktik masih berlangsung secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, namun tidak sampai mereduksi keilmuan hukum itu sendiri.
Beberapa mata kuliah yang termasuk rumpun ilmu sosial memang tidak lagi diajarkan seperti antropologi dan sosiologi hukum. Namun elan dan spirit kedua bidang ilmu tersebut diabstraksikan ke dalam pengantar mata kuliah dasar-dasar ilmu hukum seperti pengantar ilmu hukum, hukum perdata, hukum pidana, dan lain-lain.
Hal ini terepresentasikan dari instrumen pengajaran berupa RPS dan buku teks/modul ajar perkuliahan yang menyinggung pula mengenai materi-materi terkait kebutuhan penerapannya sebagai ilmu bantu dari ilmu hukum.
Kesimpulan
Dialektika pendidikan hukum khususnya mengenai ilmu hukum atau hukum akan terus berlangsung sampai kapan pun. Sudah saatnyalah para pemikir hukum, baik ia akademisi maupun para profesional hukum, tidak memperdebatkan lagi soal bunyi, tetapi memprioritaskan soal substansi. Sebagaimana pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa bukan masanya untuk memperdebatkan apakah ilmu hukum adalah ilmu.[5]
Selama lapisan ilmu hukum masih ditransformasikan dalam pendidikan hukum maka tujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi akan dapat tercapai. Memperbincangkan kembali pertentangan, bukan semata untuk menyuburkan polarisasi, tetapi demi kepentingan senantiasa mempertajam pemikiran, berdialektika dan membuka ruang-ruang diskusi ilmiah yang konstruktif analitis.
Perubahan bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Selama masing-masing mempunyai dasar pijakan yang kuat, maka ia layak diterima sebagai bagian dari penyesuaian dengan perkembangan zaman di era revolusi 4.0. Tentunya dialektika mengenai ilmu hukum dan hukum, posisi ilmu hukum di rumpun terapan atau kembali lagi di ilmu sosial atau ilmu humaniora, akan terus berlangsung.
"Bahkan ketika hukum telah ditulis, mereka tidak harus selalu tidak berubah." - Aristoteles[6]
Referensi:
[1] Pasal 10 huruf ayat (2) huruf (f) Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
[2] Permenristekdikti No. 15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada Perguruan Tinggi jo. Kepmenristekdikti Np. 257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi
[3] Titik Triwulan Tutik, Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau Dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, h. 449
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, (Yogyakarta: Liberty, 2005) h. 40
[5] Tutik, Op.Cit, h. 445
[6] Reni Novita Sari, https://www.dream.co.id/your-story/44-kata-kata-bijak-filsuf-hebat-dan-tersohor-aristoteles-200514s.html diakses pada 28 Agustus 2021
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak, karena komentar Anda menjadi jejak digital di dunia maya